A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Pengertian
Malformasi Kogenital adalah istilah kelainan structural, perilaku, faal dan kelainan metabolic yang terdapat pada waktu lahir. (Embriologi Kedokteran, Langman).
Malformasi kogenital dikenal sebagai anus imperforata yang meliputi anus, rectum atau batas di antara keduanya. (Betz dan Sowden, 2002).
Malformasi kogenital berupa kecacatan pembentukan kanal anorektal pada perkembangan embriologis akibat tidak lengkapnya atau kegagalan penutupan septum urorektal dan tidak berkembangnya protekderm.
Malformasi anorektal adalah malformasi congenital di mana rectum tidak mempunyai lubang keluar. (Donnal Wong. 1996).
Anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membrane yang memisahkan bagian endoderm dengan ectoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Pada keadaan ini, anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang terbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rectum. (Fitri Purwanto, 2006).
Malformasi anorektal adalah kelainan bawaan pada bayi baru lahir yang disebabkan obstruksi saluran cerna dan tidak ditemukannya lubang anus. (Farid Nur Mantu, 1994).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa malformasi anorektal adalah kelainan bawaan pada bayi baru lahir berupa kecacatan pembentukan kanal anorektal sehingga rectum tidak mempunyai lubang atau pembentukan anus yang tidak sempurna.
Berdasarkan klasifikasinya, anomaly dibagi menjadi 3 :
a. Anomali rendah
Rektum menembus M. levator anus sehingga jarak kulit dan ujung rectum paling jauh 1 cm. rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puberektalis, terdapat spinkter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius (anocutaneus fistula, anal stenosis, anal membrane).
b. Anomali intermediet (menengah)
Rektum mencapai tingkat M. levator anus tetapi tidak menembusnya. Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puberektalis, lesung anal dan spinkter eksternal berada pada posisi yang normal (pria : rektobulbar, rektovesical fistula. Wanita : rektovaginal, rektovertibular fistula, persistent kloaka).
c. Anomali supralevator (tinggi)
Rektum tidak mencapai tingkat M. levator anus dengan jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm, ujung rectum di atas otot puberektalis dan spinkter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistula genitourinarius rektourektal (pria) dan rektovaginal (wanita).
(Klasifikasi Wingspread terlampir)
2. Etiologi
Kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan rectum, spinkter dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, spinkter interna tidak memadai.
Kelainan bawaan rectum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum anorektal yang memisahkannya.
Dalam hal ini terjadi fistel antara saluran kemih dan genital. Pada kelainan rectum yang tinggi, spinkter interna tidak ada sedangkan spinkter eksternal hipoplastik.
3. Manifestasi Klinis
a. Tanda :
1) Lemahnya tonus spinkter.
2) Bentuk flat atau anal dimple.
3) Tidak jelasnya garis tengah lekukan intergluteal.
4) Tidak adanya pembukaan anus.
b. Gejala :
1) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama.
2) Setelah kelahiran, adanya mekonium di perineum atau genital.
3) Mekonium bercampur dengan urin.
4) Distensi abdomen.
5) Perut kembung.
6) Muntah ( mula-mula hijau kemudian bercampur tinja).
4. Komplikasi
a. Asidosis metabolic karena dehidrasi yang hebat karena muntah.
b. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
c. Kerusakan uretra akibat proses bedah.
d. Komplikasi jangka panjang :
1) Eversi mukosa anal.
2) Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
3) Impaksi dan konstipasi akibat dilatasi sigmoid.
4) Masalah atau keterlambatan yang berhubungan dengan toilet training.
5) Inkontinensia akibat stenosis anal/impaksi.
6) Prolaps mukosa anorektal menyebabkan inkontinensia.
7) Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan ireksi.
5. Patofisiologi
Perkembangan embriologi minggu ke 4 sampai 6 gestasi terjadi variasi pembentukan anorektal. Anus dan rectum berasal dari bagian dorsal hindgut. Dalam perkembangannya, fetus yang berusia 4 minggu telah terbentuk kloaka. Kloaka terbagi menjadi bagian dorsal (rectum), bagian ventral oleh septum urorektal yang berkembang dari kraniak ke kaudal dan lipatan lateral kloaka. Setelah lipatan lateral bergabung dengan septum urorektal, terjadi pemisahan antara system urinarius dan rectal. Diferensiasi selanjutnya terjadi pada genitourinarius anterior dan daerah anorektal posterior. Pada minggu ke 7 bagian genitourinarius mendapat pembukaan eksternal tapi anorektal tidak membuka hingga beberapa waktu, maka akan menjadi migrasi tidak lengkap dari anorektal ke posisi normal sehingga terjadi malformasi anorektal. Adanya hubungan yang menetap antara bagian traktus urinarius dan rectal dari kloaka akan menyebabkan terbentuknya fistula. Pada laki-laki lebih banyak terdapat fistula genitourinarius rektourektal dan pada wanita fistula terbentuk antara vagina dan rectum.
(Bagan Patofiologi terlampir)
6. Penatalaksanaan
a. General Support :
1) NGT untuk mengurangi tekanan abdomen atau dekompresi dengan mengeluarkan isi lambung.
2) Pemberian cairan IV.
3) Pemberian antibiotic.
b. Defek letak rendah dilakukan terapi definitive yaitu kolostomi dan anorektoplasti posterior saginatal (RSARP).
c. Kelainan letak rendah merupakan stenosis anus yang hanya membutuhkan dilatasi membrane atau merupakan membrane anus tipis yang mudah dibuka setelah anak lahir (Businase)
d. Defek kloaka pada wanita selain kolostomi, vaginostomi dan diversi urin jika perlu, 6 bulan kemudian dilakukan ano-rekto-vagino-uretoplasti posterior saginatal (PSAVURP).
e. Defek letak tinggi dilakukan kolostomi pada masa neonatal diteruskan denagan terapi definitive dalam waktu 6-12 bulan.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Kaji BBL pada bagian perianal
1) Inspeksi perineum = anal dimple.
2) Tidak adanya lubang anus.
b. Observasi adanya pasase mekonium yang menurun.
c. Observasi keadaan feses.
d. Kaji adanya riwayat kesulitan defekasi (distensi abdomen). Evaluasi lancar atau tidak yang bisa menyebabkan obstipasi.
e. Muntah, mula-mula hijau dan bercampur tinja.
f. Bantu dengan prosedur diagnostic, missal :
1) Endoskopi, menunjukkan tidak adanya rongga atau lubang anus.
2) Radiografi, menunjukkan tinggi atau rendahnya anomaly.
g. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan rectal digital dan fistula.
2) Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk melihat adanya sel-sel epitel mekonium.
3) Pemeriksaan sinar X, lateral inverse, adanya gas dalam usus.
4) Ultrasound dapat digunakan unutk menentukan letak kantong rectal.
5) Foto infetogram, dapat menentukan letak yang buntu terhadap dasar panggul.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko deficit volume cairan d.b ketidakadekuatan masukan cairan.
b. Resiko deficit nutrisi b.d intake nutrisi dan cairan tidak adekuat.
c. Nyeri b.d tekanan intra abdomen meningkat.
d. Resiko tinggi cidera b.d ketidakmampuan mengevakuasi rectum, pembedahan.
e. Perubahan proses keluarga b.d perawatan anak dengan hospitalisasi.
3. Intervensi
a. Dx 1 :
1) Tujuan : Mencapai keseimbangan cairan dan elektrolit.
2) Kriteria hasil :
a) Turgor kulit elastis.
b) Kulit dan membrane mukosa tidak kering.
c) TTV dalam batas normal.
d) Tidak terjadi dehidrasi.
3) Intervensi :
a) Awasi TTV.
R/ Indikator keadekuatan volume sirkulasi hipotensi ortostatik dapat terjadi.
b) Awasi jumlah dan tipe masukan cairan.
R/ Klien tidak mengkonsumsi cairan sama sekali mengakibatkan dehidrasi/ mengganti cairan untuk masukan kalori yang berdampak pada keseimbangan elektrolit.
c) Tambahkan kalium oral/IV sesuai indikasi.
R/ Pemenuhan kebutuhan cairan tubuh.
d) Observasi kulit dan membrane mukosa.
R/ identifikasi adanya dehidrasi.
b. Dx 2:
1) Tujuan : Mencapai kebutuhan nutrisi yang adekuat.
2) Kriteria hasil :
a) BB stabil atau sesuai.
b) Tonus otot baik.
c) Tidak terdapat/bebas tanda-tanda malnutrisi.
3) Intervensi :
a) Awasi toleransi terhadap masukan makanan dan cairan, catat distensi abdomen.
R/ Komplikasi paralitik ileus, obstruksi, pengosongan lambung lambat dan dilatasi terjadi, kemungkinan masukan selang NGT.
b) Auskultasi bising usus dan catat pasase flatus.
R/ peristaltic dapat diharapkan kembali kurang lebih dari pasca-op ke 3 menunjukkan kesiapan untuk memulai masukan per-oral.
c) Pertahankan potensi selang NGT.
R/ Memberikan istirahat pada traktus GI selama fase pasca-op akut sampai kembali berfungsi normal.
d) Kolaborasi : Berikan makanan Parenteral.
R/ Memenuhi kebutuhan makanan sampai masukan oral dapat dimulai.
c. Dx. 3:
1) Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
2) Kriteria hasil :
a) Klien terlihat lebih rileks (bayi tidak rewel).
b) Mampu istirahat atau tidur dengan cukup.
3) Intervensi :
a) Kaji ekspresi klien dalam nyeri.
R/ Melihat sejauh mana skala nyeri.
b) Kaji ulang factor-faktor yang meningkatkan/menghilangkan nyeri.
R/ Dapat menunjukkan dengan tepat factor pencetus/pemberat atau mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
c) Berikan tindakan nyaman (belaian, istirahat cukup).
R/ Meningkatkan relaksasi.
d) Kolaborasi : Berikan obat analgesic.
R/ Menghilangkan nyeri. Nyeri yang bervariasi dari ringan, berat perlu penanganan untuk memudahkan istirahat adekuat dan penyembuhan.
d. Dx 4 :
1) Tujuan : Tidak terjadi cedera.
2) Kriteria hasil : tidak mengalami tanda dan gejala perdarahan.
3) Intervensi :
a) Pra dan pasca Op :
- Pertahankan pengisapan nasogastrik.
R/ Untuk dekompresi abdomen.
- Pertahankan perawatan anal dan perineal yang cermat.
R/ Mencegah iritasi dan infeksi.
b) Pasca :
- Hindari mengukur suhu rectal.
R/ Mencegah trauma rectal.
- Observasi pola defekasi.
R/ Untuk mendeteksi pola normal.
- Beri posisi miring pada bayi dan panggul ditinggikan/terlentang dengan kaki disokong pada sudut 900.
R/ Mencegah tekanan pada jahitan perineal.
- Kolaborasi : Pemasangan kolostomi.
R/ untuk mencegah terjadinya aspirasi, refluks dan respirasi.
e. Dx 5 :
1) Tujuan : Keluarga akan mendapat dukungan yang adekuat.
2) Kriteria hasil :
a) Keluarga menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan bayi di rumah.
b) Menyatakan perasaan bebas dan adekuat.
3) Intervensi :
a) Ajarkan perawatan yang dibutuhkan untuk penatalaksanaan di rumah : dilatasi rectal bila tepat, perawatan luka dan kolostomi.
R/ Memberikan pengetahuan dalam perawatan bayi post op.
b) Latihan kebiasaan defekasi.
R/ Program defekasi secara teratur.
c) Modifikasi diet serat
R/ Pemenuhan kebutuhan anak post op.
Jumat, 29 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar